Sengkang, (Kemenag Parepare) – Suasana haru menyelimuti pembukaan Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) Nasional di Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang. Menteri Agama RI, Prof. H. Nasaruddin Umar, dalam sambutan pembukaannya mengajak ribuan hadirin untuk menundukkan kepala sejenak, mendoakan para santri yang menjadi korban reruntuhan masjid tiga hari lalu.
“Mari kita hadiahkan doa untuk para santri kita. Ada yang
wafat, bahkan ada yang masih terjebak. Semoga malaikat kecil itu kelak
menjemput kita di surga. Mereka sedang shalat, insya Allah mereka akan menjadi
penghuni surga,” ungkap Menag dengan suara bergetar, sebelum memimpin bacaan
Al-Fatihah bersama, Kamis, 2 Oktober 2025.
Selanjutnya, Menag menyebut bahwa hari pembukaan MQK ini
merupakan momentum bersejarah, bukan hanya bagi Sengkang, tapi juga bagi
perjalanan peradaban Islam di Indonesia. Ia mengaitkan kegiatan ini dengan
“anak tangga pertama” menuju masa keemasan Islam (Golden Age) seperti yang
pernah terjadi di Baghdad di era kepemimpinan Harun Ar-Rasyid.
“Pada masa itu lahirlah banyak ulama dan ilmuwan besar:
Jabir bin Hayyan, Al-Khawarizmi, Ibnu Haitsam, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Rusyd, hingga Al-Ghazali dan Nasaruddin At-Tusi. Mereka adalah ilmuwan
sekaligus ulama, tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum,” jelas Menag.
Ia menekankan bahwa runtuhnya tradisi keilmuan Islam justru
terjadi ketika ilmu dipisahkan: ilmu agama di satu sisi, ilmu umum di sisi
lain. Karena itu, menurutnya, pesantren hari ini harus kembali menjadi pusat
integrasi ilmu, tidak hanya memahami kitab turats, tapi juga menguasai ilmu sains,
politik, hingga teknologi.
Dalam pidatonya, Menag juga menyinggung sejarah panjang
Pondok Pesantren As’adiyah, yang menjadi tuan rumah MQK 2025. Pesantren ini
berdiri sejak 1930 atas prakarsa KH. Muhammad As’ad, ulama kelahiran Makkah
tahun 1907 yang kemudian mengabdikan diri di Sulawesi Selatan.
“As’adiyah adalah pondok tertua di luar Jawa. Usianya hampir
sama dengan pesantren-pesantren besar di Jawa. Dari sinilah lahir berbagai
tokoh dan pimpinan pondok pesantren, termasuk DDI. Saat ini cabangnya sudah
535, dengan ranting ribuan hingga ke Sabah Malaysia dan pesisir Sumatra. Di mana
ada Bugis, di situ ada As’adiyah,” ujar Menag.
Menteri Agama menegaskan urgensi Musabaqah Qiraatul Kutub.
Menurutnya, MQK bukan hanya ajang mahir membaca kitab kuning, tetapi juga upaya
membentuk karakter keislaman moderat dan memperkuat tradisi turats.
“Pondok pesantren tidak boleh hanya berkutat pada kitab
turats. Santri harus bisa membaca kitab politik, kitab sains, dan memahami
perkembangan zaman. Inilah anak tangga menuju kejayaan Islam berikutnya,”
tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sikap moderat lahir dari kedalaman
ilmu, bukan dari keterbatasan wawasan. “Biasanya orang yang tidak moderat itu
karena hanya membaca seperti memakai kacamata kuda. Maka, pelajarilah
kitab-kitab lain, cari persamaan, bukan perbedaan,”tegasnya.
Dalam bagian lain sambutannya, Menag menyinggung warisan
ulama besar Nusantara seperti Syekh Jamaluddin al-Akbar al-Husaini yang
dimakamkan di Tosora, Wajo. Ulama keturunan Husain bin Ali itu disebut sebagai
guru dari Walisongo dan menjadi tokoh penting diplomasi Islam dengan pendekatan
budaya.
“Islam yang masuk ke Indonesia pasca runtuhnya Baghdad
dibawa dengan cara damai. Walisongo berdakwah dengan bahasa lokal, berbaur
dengan masyarakat, tidak pernah beroposisi dengan penguasa. Tradisi itulah yang
harus kita jaga,” jelas Menag.
Selain mengulas sejarah, Menag juga mengangkat isu kekinian:
perubahan iklim. Ia mengaitkan pentingnya menjaga lingkungan dengan konsep
ekoteologi pesantren.
“Sekiranya besok kiamat, tetaplah menanam pohon. Dengan
menjaga alam, kita akan dijaga oleh alam. Jangan sampai kerusakan alam karena
tangan manusia justru mengundang banyak bencana,” pesan Menag.
Ia juga mengenalkan konsep kurikulum cinta di pesantren,
yang diyakini mampu menghapus perpecahan. “Jika cinta sudah tertanam, tidak ada
lagi kebencian, tidak ada lagi pertikaian.”
Menutup sambutannya, Menteri Agama kembali menekankan
pentingnya menghormati guru dan tradisi keilmuan pesantren.
“Hargai guru, hormati guru. Iqra, iqra, iqra. Dan
perbanyaklah bangun malam, karena sajadah adalah laboratorium terbesar para
ulama,” pungkasnya.
Pembukaan MQK ditandai dengan pemukulan beduk oleh Menteri
Agama bersama Gubernur Sulsel, Dirjen Pendis, serta sejumlah pejabat. Acara
juga dimeriahkan dengan penampilan orkestra santri As’adiyah yang membawakan
lagu Yalal Wathan, serta launching ekoteologi pesantren melalui aksi simbolis
penanaman pohon.
Dengan ribuan santri dari berbagai penjuru hadir di
Sengkang, MQK 2025 diharapkan menjadi momentum pesantren untuk menemukan
kembali jati dirinya: pusat peradaban Islam yang moderat, berakar pada tradisi,
namun tetap menjawab tantangan zaman.(Abul/Wn)
0 comments:
Posting Komentar